Jumat, 19 Oktober 2012

Dilema dan dinamika antara kepentingan individu dan kepentingan sosial



Tugas UNP033
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
Tentang
“Dilema dan dinamika antara kepentingan individu dan kepentingan sosial”


Diusulkan Oleh :
Kelompok 5
·        Lathif Arafat .A                          2011/1102309
·        Ghea Qodri Ramadhani             2011/1102725
·        Munawira Khuzaifah                 2008/01011
·        M.Khadafi                                  2011/1102252
·        Gusneli                                        2011/1102284
·        Rahmat Nuryanto .P                            2010/10634
·        Zalmon Firdaus                          2011/1102771
·        Aldi Chandra                              2011/1102932



UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2012

                                                            KATA PENGANTAR

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, salawat dan salam pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah dengan izin dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah mata kuliah umum Ilmu sosial dan dasar budaya yang berjudul “Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan sosial”

Berbagai bantuan baik moril maupun materil telah penulis terima dari berbagai pihak dalam penulisan makalah ini, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan, bimbingan dan bantuan yang sangat berarti selama penulisan makalah ini hingga dapat diselesaikan. Izinkanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada   :
1.      Bpk Zulasri selaku Dosen Pembina mata kuliah umum Ilmu sosial dan dasar budaya  yang telah memberikan ilmu pengetahuan,bimbingan, dorongan, motivasi serta petunjuk yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan makalah ini
2.      Rekan-rekan Mahasisiwa/i UNP yang telah berbagi pendapat,referensi dalam hal ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf jika ada penulisan yang salah karena penulis adalah manusia yang masih belajar.

Padang,Maret 2012

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar.........................................................................................        2 
Daftar Isi....................................................................................................       3    
Bab I Pendahuluan.....................................................................................       4
*  Latar Belakang .................................................................................    5    
*  Rumusan Masalah............................................................................      13
*  Tujuan..............................................................................................       13
Bab II Pembahasan
            DILEMA ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT……………………………………………………………..   15

Bab III Penutup
*      simpulan.........................................................................................    19
Daftar Pustaka..............................................................................................        18
























A.   Bab Pendahuluan
A.latar belakang
Dinamika Interaksi sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah Makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang dan dimensi waktu dari Robert T Hall dan Definisi Situasi dari W.I. Thomas. Hall membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik. Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan aturan mengenai Waktu. Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi. Aturan yang terakhir adalah dimensi situasi yang dikemukakan oleh W.I. Thomas. Definisi situasi merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan reaksi. Definisi situasi ini dibuat oleh individu dan masyarakat.
Interaksi Sosial adalah suatu proses hubungan timbal balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu, antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan social.
Dalam kamus Bahasa Indonesia Interaksi didefinisikan sebagai hal saling melalkukan akasi , berhubungan atau saling mempengaruhi. Dengan demikian  interaksi adalah hubungan timbal balik (sosial) berupa aksi salaing mempengaruhi antara individu dengan individu, antara individu dankelompok dan antara kelompok dengan dengan kelompok.
Gillin mengartikan bahwa interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial dimana yang menyangkut hubungan antarandividu , individu dan kelompok  antau antar kelompok. Menurut Charles P. loomis sebuah hubungan bisa disebut interaksi jika memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. jumlah pelakunya dua orang atau lebih
  2. adanya komunikasi antar pelaku dengan menggunakan simbul atau lambing-lambang
  3. adanya suatu demensi waktu yang meliputi ,asa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang .
4.       adanya tujuan yang hendak dicapai
v  Faktor-faktor yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial yaitu :
  1. Imitasi
Imitasi yaitu tindakan meniru orang lain. Faktor imitasi mempunyai peranan sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat membawa seseorang untuk mematuhi kaidah – kaidah yang berlaku. Faktor ini telah diuraikan oleh Gabriel Tarde yang beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi saja.
2.      Sugesti
Sugesti ini berlangsung apabila seseorang memberikan pandangan atau sikap yang dianutnya, lalu diterima oleh orang lain. Biasanya sugesti muncul ketika sipenerima sedang dalam kondisi yang tidak netral sehingga tidak dapat bewrfikir rasional.
Biasanya sugesti berasal dari orang-orang sebagai berikut:
  1.  
    1. orang yang berwibawa, karismatik dan punya pengaruh terhadap yang disugesti, misalnya orang tua, ulama, dsb.
    2. Orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada yang disugesti.
    3. Kelompok mayoritas terhadap minoritas.
    4. Reklame atau iklan media masa.
3.      Identifikasi yaitu merupakan kecenderungan atau keinginan seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain (meniru secara keseluruhan).
4.      Simpati yaitu merupakan suatu proses dimana seorang merasa tertarik kepada pihak lain. Melalui proses simpati orang merasa dirinya seolah-olah dirinya berasa dalam keadaan orang lain.
5.      Empati yaitu merupakan simpati yang menfdalam yang dapat mempengaruhi kejiwaan dan fisik seseorang.
Syarat terjadinya interaksi adalah :
1.      Adanya kontak sosial
Kata kontak dalam bahasa inggrisnya “contack”, dari bahasa lain “con” atau “cum” yang artinya bersama-sama  dan “tangere” yang artinya menyentuh . Jadi kontak berarti sama-sama menyentuh.Kontak social ini tidak selalu melalui interaksi atau hubungan fisik, karena orang dapat melakuan kontak social tidak dengan menyentuh, misalnya menggunakan HP, telepon dsb.
Kontak sosial memiliki memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
  1. Kontak sosial bisa bersifat positif dan bisa negative. Kalau kontak social mengarah pada kerjasama berarti positif, kalau mengarah pada suatu pertentangan atau konflik berarti negative.
2.      Kontak social dapat bersifat primer dan bersifat skunder. Kontak social primer terjadi  apa bila peserta interaksi  bertemu muka secara langsung. Misanya kontak antara guru dengan murid dsb. Kalau kontak skunder terjadi apabila interaksi berlangsung melalui perantara. Missal percakapan melalui telepon, HP dsb.
2.  Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak kepihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu :
  1. Komunikator yaitu orang yang menyampaikan informasi atau pesan atau perasaan atau pemikiran pada pihak lain.
  2. Komunikan yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan, pikiran, informasi.
  3. Pesan yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
  4. Media yaitu alat untuk menyampaiakn pesan
5.      Efek/feed back yaitu tanggapan atau perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.
Ada tiga tahapan penting dalam komunikasi:
  1. Encoding
Pada tahap ini gagssaan atau program yang akan dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar. dalam tahap ini komunikator harus memilih kata atau istilah, kalimat dan gambar yang mudah dipahami oleh komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.
  1. Penyampaian
Pada tahap ini istilah atau gagasan yang telah diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaiakan . Penyampaian dapat berupa lisan dan dapat berupa tulisan atau gabungan dari duanya.
  1. Decoding
Pada tahap ini dilakukan proses mencerna fdan memahami kalimat serta gambar yang diterima menuruy pengalaman yang dimiliki.
Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan proses asosiatif dapat terbagi atas bentuk kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Kerja sama merupakan suatu usaha bersama individu dengan individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan, di mana terjadi keseimbangan dalam interaksi antara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berkaitan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Usaha-usaha itu dilakukan untuk mencapai suatu kestabilan. Sedangkan Asimilasi merupakan suatu proses di mana pihak-pihak yang berinteraksi mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok
Bentuk interaksi yang berkaitan dengan proses disosiatif ini dapat terbagi atas bentuk persaingan, kontravensi, dan pertentangan. Persaingan merupakan suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan. Bentuk kontravensi merupakan bentuk interaksi sosial yang sifatnya berada antara persaingan dan pertentangan. Sedangkan pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.
Untuk tahapan proses-proses asosiatif dan disosiatif Mark L. Knapp menjelaskan tahapan interaksi sosial untuk mendekatkan dan untuk merenggangkan. Tahapan untuk mendekatkan meliputi tahapan memulai (initiating), menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan (integrating) dan mempertalikan (bonding). Sedangkan tahapan untuk merenggangkan meliputi membeda-bedakan (differentiating), membatasi (circumscribing), memacetkan (stagnating), menghindari (avoiding), dan memutuskan (terminating).
Pendekatan interaksi lainnya adalah pendekatan dramaturgi menurut Erving Goffman. Melalui pendekatan ini Erving Goffman menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subyektif dan obyektif dari interaksi sosial. Konsep-konsepnya dalam pendekatan ini mencakup tempat berlangsungnya interaksi sosial yang disebut dengan social establishment, tempat mempersiapkan interaksi sosial disebut dengan back region/backstage, tempat penyampaian ekspresi dalam interaksi sosial disebut front region, individu yang melihat interaksi tersebut disebut audience, penampilan dari pihak-pihak yang melakukan interaksi disebut dengan team of performers, dan orang yang tidak melihat interaksi tersebut disebut dengan outsider.
Erving Goffman juga menyampaikan konsep impression management untuk menunjukkan usaha individu dalam menampilkan kesan tertentu pada orang lain. Konsep expression untuk individu yang membuat pernyataan dalam interaksi. Konsep ini terbagi atas expression given untuk pernyataan yang diberikan dan expression given off untuk pernyataan yang terlepas. Serta konsep impression untuk individu lain yang memperoleh kesan dalam interaksi.
Bentuk – Bentuk interaksi yang mendorong terjadinya lembaga, kelompok dan organisasi sosial .
1.     Bentuk Interaksi sosial menurut jumlah pelakunya .
A.    Interaksi antara individu dan individu.
Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan\Stimulus kepada individu lainnya. Wujud interaksi bisa dalam dalam bentuk berjabat tangan, saling menegur, bercakap-cakap mungkin bertengkar.
B.     Interaksi antara individu dan kelompok
Bentuk interaksi antara individu dengan kelompok: Misalnya : Seorang ustadz sedang berpidato didepan orang banyak. Bentuk semacam ini menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan kelompok .
C.     Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Bentuk interaksi seperti ini berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok lain . Contoh : Satu Kesebelasan Sepak Bola bertanding melawan kesebelasan lain .
2.  Bentuk Interaksi Sosial Menurut Proses Terjadinya.
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Ini berarti kedua belah pihak belum tentu puas sepenunya. Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial. Keempat bentuk poko dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan suatu kontinuitas, di dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertikaian untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gillin dan Gillin mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial :
1. Proses-proses yang Asosiatif
1.    Kerja Sama (Cooperation)
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.
Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooleykerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan :
  1. Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta
  2. Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa
  3. Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
  4. Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
Macam – macam bentuk kerjasama :
1.      Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih
2.      Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan
  1.  
    1. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karenamaksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
2. Akomodasi (Accomodation)
Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan yntuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tujuan Akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu :
  1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham
  2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer
    1. Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta.
    2. mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.
Bentuk-bentuk Akomodasi:
  1. Corecion, suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan
  2. Compromise, bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
  3. Arbitration, Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri
  4. Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
  5. Toleration, merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.
  6. Stalemate, suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada satu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.
  7. Adjudication, Penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan
3. Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama.
Proses Asimilasi timbul bila ada :
Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri
Beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah ke suatu proses asimilasi (interaksi yang asimilatif) bila memilii syarat-syarat berikut ini: Interaksi sosial tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, dimana pihak yang lain tadi juga berlaku sama interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan. Interaksi sosial tersebut bersifat langsung dan primer. Frekuaensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola tersebut. Artinya, stimulan dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangankan.
Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi adalah :
Toleransi
kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya sikap tebuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan perkawinan campuran (amaigamation) adanya musuh bersama dari luar
Faktor umum penghalangan terjadinya asimilasi:
Terisolasinya kehidupan suatu golongan tertentu dalam masyarakat kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi dan sehubungan dengan itu seringkali menimbulkan faktor ketiga perasaan takut terhadap kekuatan suatu kebudayaan yang dihadapi perasaan bahwa suatu kebudayaan golongan atau kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan golongan atau kelompok lainnya.
Dalam batas-batas tertentu, perbedaan warna kulit atau perbedaan ciri-ciri badaniah dapat pula menjadi salah satu penghalang terjadinya asimilasi In-Group-Feeling yang kuat menjadi penghalang berlangsungnya asimilasi. In Group Feeling berarti adanya suatu perasaan yang kuat sekali bahwa individu terikat pada kelompok dan kebudayaan kelompok yang bersangkutan.
Gangguan dari golongan yang berkuasa terhadap minoritas lain apabila golongan minoritas lain mengalami gangguan-gangguan dari golongan yang berkuasa faktor perbedaan kepentingan yang kemudian ditambah dengan pertentangan-pertentangan pribadi.
Asimilasi menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial dan dalam pola adat istiadat serta interaksi sosial. Proses yang disebut terakhir biasa dinamakan akulturasi. Perubahan-perubahan dalam pola adat istiadat dan interaksi sosial kadangkala tidak terlalu penting dan menonjol.
Proses Disosiatif
Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Untuk kepentingan analisis ilmu pengetahan, oposisi proses-proses yang disosiatif dibedkan dalam tiga bentuk, yaitu :
1. Persaingan (Competition)
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunya dua tipe umum :
Bersifat Pribadi : Individu, perorangan, bersaing dalam memperoleh kedudukan. Tipe ini dinamakan rivalry.
Bersifat Tidak Pribadi : Misalnya terjadi antara dua perusahaan besar yang bersaing untuk mendapatkan monopoli di suatu wilayah tertentu.
Bentuk-bentuk persaingan :
Persaingan ekonomi : timbul karena terbatasnya persediaan dibandingkan dengan jumlah konsumen
Persaingan kebudayaan : dapat menyangkut persaingan bidang keagamaan, pendidikan, dst.
Persaingan kedudukan dan peranan : di dalam diri seseorang maupun di dalam kelompok terdapat keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan terpandang.
Persaingan ras : merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Hal ini disebabkan krn ciri-ciri badaniyah terlihat dibanding unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Persaingan dalam batas-batas tertentu dapat mempunyai beberapa fungsi :
Sebagai jalan dimana keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa medapat pusat perhatian, tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.
Sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar seks dan sosial. Persaingan berfungsi untuk mendudukan individu pada kedudukan serta peranan yang sesuai dengan kemampuannya.
Sebagai alat menyaring para warga golongan karya (”fungsional”)
2. Kontraversi (Contravetion)
Kontravensi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontraversi menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 5 : yang umum meliputi perbuatan seperti penolakan, keenganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguang-gangguan, kekerasan, pengacauan rencana, yang sederhana seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebaran, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian pada pihak lain, dst. yang intensif, penghasutan, menyebarkan desas desus yang mengecewakan pihak lain, yang rahasia, mengumumkan rahasian orang, berkhianat. yang taktis, mengejutkan lawan, mengganggu dan membingungkan pihak lain.
Contoh lain adalah memaksa pihak lain menyesuaikan diri dengan kekerasan, provokasi, intimidasi, dst.
Menurut Leo von Wiese dan Howard Becker ada 3 tipe umum kontravensi :
1. Kontraversi generasi masyarakat : lazim terjadi terutama pada zaman yang sudah mengalami perubahan yang sangat cepat
2. Kontraversi seks : menyangkut hubungan suami dengan istri dalam keluarga.
3. Kontraversi Parlementer : hubungan antara golongan mayoritas dengan golongan minoritas dalam masyarakat.baik yang menyangkut hubungan mereka di dalam lembaga legislatif, keagamaan, pendidikan, dst.
Tipe Kontravensi :
Kontravensi antarmasyarakat setempat, mempunyai dua bentuk :
1. Kontavensi antarmasyarakat setempat yang berlainan (intracommunity struggle)
2..   Kontravensi antar golongan-golongan dalam satu masyarakat setempat (intercommunity struggle)
3. Pertentangan (Pertikaian atau conflict)
Pribadi maupun kelompok menydari adanya perbedaan-perbedaan misalnya dalam ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian.
Sebab musabab pertentangan adalah :
1. Perbedaan antara individu.
2. Perbedaan kebudayaan.
3. Perbedaan kepentingan.
perubahan sosial.
Pertentangan dapat pula menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat. Timbulnya pertentangan merupakan pertanda bahwa akomodasi yang sebelumnya telah tercapai.
Pertentangan mempunyai beberapa bentuk khusus:
1. Pertentangan pribadi
2. Pertentangan Rasial : dalam hal ini para pihak akan menyadari betapa adanya perbedaan antara mereka yang menimbulkan pertentangan
3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial : disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan
4. Pertentangan politik : menyangkut baik antara golongan-golongan dalam satu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat
5. Pertentangan yang bersifat internasional : disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan negara
Akibat-akibat bentuk pertentangan:
1. Tambahnya solidaritas in-group.
Apabila pertentangan antara golongan-golongan terjadi dalam satu kelompok tertentu, akibatnya adalah sebaliknya, yaitu goyah dan retaknya persatuan kelompok tersebut.
2. Perubahan kepribadian para individu.
3. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia.
4. Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak.



Bab II Pembahasan
DILEMA ANTARA KEPENTINGAN INDIVIDU DAN KEPENTINGAN MASYARAKAT
Dilema anatara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah pada pertanyaan mana yang harus saya utamakan, kepentingan saya selaku individu atau kepentingan masyarakat tempat saya hidup bersama? Persoalan pengutamaan kepentingan individu atau masyarakat ini memunculkan dua pandangan yang berkembang menjadi paham/aliran bahkan ideologi yang dipegang oleh suatu kelompok masyarakat.
1. Pandangan Individualisme
Individualisme berpangkal dari konsep bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk individu yang bebas. Paha mini memandang manusia sebagai makhluk pribadi yang utuh dan lengkap terlepas dari manusia yang lain.
Pandangan individualisme berpendapat bahwa kepentingan indidulah yang harus diutamakan. Yang menjadi sentral individualisme adalah kebebasan seorang individu untuk merealisasikan dirinya. Paham individualisme menghasilkan ideologi liberalisme. Paham ini bisa disebut juga ideologi individualisme liberal.
Paham individualisme liberal muncul di Eropa Barat (bersama paham sosialisme) pada abad ke 18-19. Yang dipelopori oleh Jeremy Betham, John Stuart Mill, Thomas Hobben, John Locke, Rousseau, dan Montesquieu. Beberapa prinsip yang dikembangkan ideologi liberalisme adalah sebagai berikut.
a.       Penjaminan hak milik perorangan. Menurut paham ini , pemilikan sepenuhnya berada pada pribadi dan tidak berlaku hak milik berfungsi sosial,
b.      Mementingkan diri sendiri atau kepentingan individu yang bersangkutan,
c.       Pemberian kebebasan penuh pada individu,
d.      Persaingan bebas untuk mencapai kepentingannya masing-masing.
Kebebasan dalam rangka pemenuhan kebutuhan diri bisa menimbulkan persaingan dan dinamika kebebasan antar individu. Menurut paham liberalisme, kebebasan antar individu tersebut bisa diatur melalui penerapan hukum. Jadi, negara yang menjamin keadilan dan kepastian hukum mutlak diperlukan dalam rangka mengelola kebebasan agar tetap menciptakan tertibnya penyelenggaraan hidup bersama.

2. Pandangan Sosialisme
Paham sosialisme ditokohi oleh Robert Owen dari Inggris (1771-1858), Lousi Blanc, dan Proudhon. Pandangan ini menyatakan bahwa kepentingan masyarakatlah yang diutamakan. Kedudukan individu hanyalah objek dari masyarakat. Menurut pandangan sosialis, hak-hak individu sebagai hak dasar hilang. Hak-hak individu timbul karena keanggotaannya dalam suatu komunitas atau kelompok.
Sosialisme adalah paham yang mengharapkan terbentuknya masyarakat yang adil, selaras, bebas, dan sejahtera bebas dari penguasaan individu atas hak milik dan alat-alat produksi. Sosialisme muncul dengan maksud kepentingan masyarakat secara keseluruhan terutama yang tersisih oleh system liberalisme, mendapat keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Untuk meraih hal tersebut, sosialisme berpandangan bahwa hak-hak individu harus diletakkan dalam kerangka kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dalam sosialisme yang radikal/ekstem (marxisme/komunisme) cara untuk meraih hal itu adalah dengan menghilangkan hak pemilikan dan penguasaan alat-alat produksi oleh perorangan. Paham  marxisme/komunisme dipelopori oleh Karl Marx (1818-1883).
Paham individualisme liberal dan sosialisme saling bertolak belakang dalam memandang hakikat manusia. Dalam Declaration of Independent Amerika Serikat 1776, orientasinya lebih ditekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk individu yang bebas merdeka, manusia adalah pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang luhur. Sedangkan dalam Manifesto Komunisme Karl Marx dan Engels, orientasinya sangat menekankan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial semata. Menurut paham ini manusia sebagai makhluk pribadi yang tidak dihargai. Pribadi dikorbankan untuk kepentingan negara.
Dari kedua paham tersebut terdapat kelemahannya masing-masing. Individualisme liberal dapat menimbulkan ketidakadilan, berbagai bentuk tindakan tidak manusiawi, imperialisme, dan kolonialisme, liberalisme mungkin membawa manfaat bagi kehidupan politik, tetapi tidak dalam lapangan ekonomi dan sosial.  Sosialisme dalam bentuk yang ekstrem, tidak menghargai manusia sebagai pribadi sehingga bisa merendahkan sisi kemanusiaan. Dalam negara komunis mungkin terjadi kemakmuran, tetapi kepuasan rohani manusia belum tetu terjamin.
Dalam negara Indonesia yang berfalsafahkan  Pancasila, hakikat manusia dipandang memiliki sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbang. Manusia bukanlah makhluk individu dan sosial, tetapi manusia adalah makhluk  individu sekaligus makhluk sosial. Frans Magnis Suseno, (2001) menyatakan bahwa manusia adalah individu yang secara hakiki bersifat sosial dan sebagai individu manusia bermasyarakat.
Bung Karno menerangkan tentang seimbangnya dua sifat tersebut dengan ungkapan “Internasianalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak hidup subur  kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme” (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1998). Paduan harmoni antara individu dan sosial dalam diri bangsa Indonesia diungkap dalam sila kedua dan ketiga Pancasila. Bangsa Indonesia memiliki prinsip menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Namun demi kepentingan bersama tidak dengan mengorbankan hak-hak dasar setiap warga Negara
Bab III Penutup
a.simpulan
Dalam negara Indonesia yang berfalsafahkan  Pancasila, hakikat manusia dipandang memiliki sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbang. Manusia bukanlah makhluk individu dan sosial, tetapi manusia adalah makhluk  individu sekaligus makhluk sosial. Frans Magnis Suseno, (2001) menyatakan bahwa manusia adalah individu yang secara hakiki bersifat sosial dan sebagai individu manusia bermasyarakat.
Bung Karno menerangkan tentang seimbangnya dua sifat tersebut dengan ungkapan “Internasianalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak hidup subur  kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme” (Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, 1998). Paduan harmoni antara individu dan sosial dalam diri bangsa Indonesia diungkap dalam sila kedua dan ketiga Pancasila. Bangsa Indonesia memiliki prinsip menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Namun demi kepentingan bersama tidak dengan mengorbankan hak-hak dasar setiap warga negara.
Akan tetapi pada masyarakat Indonesia sekarang lebih condong ke arah liberalisme bagaimana tidak ? seorang pejabat pemerintah bisa mengkorupsi uang pajak untuk rakyat sampai bermiliyar – miliyar rupiah itu yang torbongkar, belum lagi yang tidak terbongkar. Dari yang terkecil seperti premanisme juga mengakar pada budaya kita. Semua itu tidak dipungkiri masalah ekonomi Indonesia yang kurang baik, banyak suap dimana – mana , dari jalan raya sampai gedung bertingkat, ada juga nipotisme yang masih banyak terjadi banyak orang yang tidak berkompeten menjadi ketua organisasi karena saudaranya seorang pejabat publik, akan tetapi jika sesorang itu ahli dibidangnya dan mendaptkan pekerjaaan di bidangnya karena saudaranya malah dianjurkan.
Banyak juga orang yang mementingkan masyarakat dari pada diri sendiri seperti pekerja sosial yang lupa pada keluarganya sehingga terlantar. Hal inilah yang harus dibenahi kita harus kembali menengok kepada pancasila yang benar – benar memandang  sifat pribadi sekaligus sosial secara seimbang.







Daftar pustaka
Elly M. Setiadi, dkk. 2006 . Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Effendi, Ridwan dan Elly Malihah. 2007 . Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi. Bandung : Yasindo Multi Aspek.
Herimanto dan Winarno. 2010. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.


Interaksi Sosial Memunculkan berbagai corak streotip dan prasangka yang berakibatnya adanya diskriminasi



Tugas UNP033
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
Tentang
Interaksi Sosial Memunculkan berbagai corak streotip dan prasangka yang berakibatnya adanya diskriminasi”



 

Diusulkan Oleh :
Kelompok 5
·        Lathif Arafat .A                          2011/1102309
·        Ghea Qodri Ramadhani             2011/1102725
·        Munawira Khuzaifah                 2008/01011
·        M.Khadafi                                  2011/1102252
·        Gusneli                                        2011/1102284
·        Rahmat Nuryanto .P                            2010/10634
·        Zalmon Firdaus                          2011/1102771
·        Aldi Chandra                              2011/1102932




UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011

                                                            KATA PENGANTAR

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, salawat dan salam pada junjungan Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah dengan izin dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah mata kuliah umum Ilmu sosial dan dasar budaya yang berjudul Interaksi Sosial Memunculkan berbagai corak streotip dan prasangka yang berakibatnya adanya diskriminasi
Berbagai bantuan baik moril maupun materil telah penulis terima dari berbagai pihak dalam penulisan makalah ini, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan, bimbingan dan bantuan yang sangat berarti selama penulisan makalah ini hingga dapat diselesaikan. Izinkanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada   :
1.      Bpk Zulasri selaku Dosen Pembina mata kuliah umum Ilmu sosial dan dasar budaya  yang telah memberikan ilmu pengetahuan,bimbingan, dorongan, motivasi serta petunjuk yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan makalah ini
2.      Rekan-rekan Mahasisiwa/i UNP yang telah berbagi pendapat,referensi dalam hal ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf jika ada penulisan yang salah karena penulis adalah manusia yang masih belajar.

Padang,Maret 2012

Penulis



Daftar Isi
Kata Pengantar.........................................................................................        2 
Daftar Isi....................................................................................................       3    
Bab I Pendahuluan.....................................................................................       4
*  Latar Belakang .................................................................................    5    
*  Rumusan Masalah............................................................................      13
*  Tujuan..............................................................................................       13
*  Kegunaan,…………………………………………………………..     13
Bab II Pembahasan
*      Keharusana manusia hidup berkelompok…………………………………… 13
*      Prasangka dan corak Streotipe…………………………………………………….. 14
*      Gejolak Diskriminasi dalam interaksi social…………………………………  15
Bab III Penutup
*      Kesimpulan........................................................................................     19
*      Saran...................................................................................................    20
Daftar Pustaka..............................................................................................        21 

















BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tentu saja memiliki hasrat dan keinginan untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Manusia tidak akan pernah dapat hidup sendiri di dunia ini,sehingga akan selalu membutuhkan orang lain. Manusia pada dasarnya dilahirkan seorang diri, namun di dalam proses kehidupan selanjutnya, manusia membutuhkan manusia lainnya. Seperti pendapat Susanto (1979:63) dengan mengutip ucapan dari Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon, yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup berkelompok atau setidaknya lebih suka mencari teman untuk hidup bersama daripada hidup sendiri.
           
Kehidupan manusia akan dapat berkembang apabila seseorang manusia dapat berhubungan dengan manusia lainnya, dengan kata lain manusia itu disamping hidup di tengah-tengah lingkungan alam, juga hidup di dalam lingkungan sosial, tidak hanya secara pasif, akan tetapi secara aktif juga.

Menurut pendapat Soekanto (1990:27), bahwa di dalam diri manusia pada dasarnya telah terdapat suatu keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitar lainnya berdasarkan atas keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungannya.

Untuk mencapai keinginan tersebut, manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya atas dasar keinginan untuk hidup bersama. Akan tetapi, interaksi yang terjalin tidak hanya semata-mata didasari untuk mencari teman hidup saja, melainkan ada juga yang berdasarkan atas kepentingan-kepentingan yang hasilnya saling menguntungkan.

Pada umumnya interaksi sosial yang dibangun oleh seseorang lebih didasari atas berbagai kepentingan dengan  maksud dan tujuan tertentu. Apabila interaksi yang dibangun tidak menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seseorang bisa memutuskan untuk tidak melanjutkan interaksi lagi. Hal itu tergantung dari kedalaman seseorang dalam melakukan interaksi sosial yang diwujudkan pada saat berinteraksi. Derajat interaksi atau kedalaman interaksi sosial umumnya diukur melalui simbol-simbol makna atau penafsiran maksud dan tujuan yang ingin disampaikan dan juga intensitas seseorang dalam melakukan interaksi. Intensitas interaksi sosial juga merupakan faktor yang menunjang terjadinya percampuran kebudayaan atau yang dikenal dengan istilah asimilasi. Adapun bentuk dari interaksi sosial meliputi kerjasama, persaingan, pertikaian, dan akomodasi.

Seperti diketahui, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, dalam arti memiliki keanekaragaman SARA. Keanekaragaman ini semakin bertambah manakala terjadi perpindahan penduduk antar provinsi/transmigrasi dan juga imigrasi asing masuk ke wilayah Indonesia dan kemudian menetap di Indonesia. Keanekaragaman SARA yang berbeda-beda, hendaknya tidak dijadikan jurang pemisah, yakni dengan pengkotak-kotakan etnis yang satu dengan etnis yang lainnya, karena hal itu akan menyebabkan disintegrasi.
Faktor – Faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial
Interaksi sosial terbentuk oleh factor – factor berikut ini :
  1. Tindakan Sosial
  2. Kontak Sosial
  3. Komunikasi Sosial


1.      Tindakan Sosial
Tidak semua tindakan manusia dinyatakan sebagai tindakan sosial misalnya : Seorang pemuda yang sedang mengkhayalkan gadis impiannya secara diam – diam . Menurut MAX WEBER , tindakan sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat mempengaruhi individu – individu lainnya dalam masyarakat . Tindakan sosial dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
  1. Tindakan Rasional Instrumental : Tindakan yang dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan . Contoh : Bekerja Keras untuk mendapatkan nafkah yang cukup .
  2. Tindakan Rasional Berorientasi nilai : Tindakan – Tindakan yang berkaitan dengan nilai – nilai dasar dalam masyarakat . Contoh : Tindakan –Tindakan yang bersifat Religio – magis .
  3. Tindakan Tradisional ; Tindakan  yang tidak memperhitungkan pertimbangan Rasional . Contoh : Berbagai macam upacara \ tradisi yang dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan leluhur .
  4. Tindakan Ofektif : Tindakan – Tindakan yang dilakukan oleh seorang \ kelompok orang berdasarkan perasaan \ emosi
2.      Kontak Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari kontak sosial dapat dilakukan dengan cara :
  1. Kontak Sosial yang dilakukan menurut cara pihak – pihak yang berkomunikasi . Cara kontak sosial itu ada 2 macam yaitu :
    1. Kontak Langsung : Pihak komunikator menyampaikan pesannya secara langsung kepada pihak komunikan .
    2.  Kontak Tidak Langsung : Pihak komunikator menyampaikan pesannya kepada pihak komunikan melalui perantara pihak ketiga .

  1. Kontak Sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi . Ada 2 macam kontak sosial .
    1. Kontak Primer
    2. Kontak Sekunder

    1. Komunikasi Sosial
Komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Orang yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator , orang yang menerima komunikasi disebut komunikan . Tidak selamanya kontak sosial akan menghasilkan interaksi sosial yang baik apabila proses komunikasinya tidak berlangsungnya secara komunikatif . Contoh : Pesan yang disampaikan tidak jelas , berbelit – belit , bahkan mungkin sama sekali tidak dapat dipahami .
  • Bentuk – Bentuk interaksi yang mendorong terjadinya lembaga , kelompok dan organisasi sosial .

1. Bentuk Interaksi sosial menurut jumlah pelakunya .
               A. Interaksi antara individu dan individu
Individu yang satu memberikan pengaruh , rangsangan \ Stimulus kepada individu lainnya . Wujud interaksi bisa dalam dalam bentuk berjabat tangan , saling menegur , bercakap – cakap \ mungkin bertengkar .
                B. Interaksi antara individu dan kelompok                                                                          
Bentuk interaksi antara individu dengan kelompok : Misalnya : Seorang ustadz sedang berpidato didepan orang banyak . Bentuk semacam ini menunjukkan bahwa kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan kelompok .
                C. Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Bentuk interaksi seperti ini berhubungan dengan kepentingan individu dalam kelompok lain . Contoh : Satu Kesebelasan Sepak Bola bertanding melawan kesebelasan lain .
2. Bentuk Interaksi Sosial Menurut Proses Terjadinya .
       A. Imitasi
Imitasi adalah pembentukan nilai melalui dengan meniru cara- cara orang lain. Contoh : Seorang anak sering kali meniru kebiasan – kebiasan orang tuanya .
       B. Identifikasi
Identifikasi adalah menirukan dirinya menjadi sama dengan orang yang ditirunya . Contoh : Seorang anak laki – laki yang begitu dekat dan akrab dengan ayahnya suka mengidentifikasikan dirinya menjadi sama dengan ayah nya .
         C. Sugesti
Sugesti dapat diberikan dari seorang individu kepada kelompok . Kelompok kepada kelompok kepada seorang individu . Contoh : Seorang remaja putus sekolah akan dengan mudah ikut-ikutan terlibat “ Kenalan Remaja “ . Tanpa memikirkan akibatnya kelak .
          D. Motivasi
Motivasi juga diberikan dari seorang individu kepada kelompok.Contoh : Pemberian tugas dari seorang guru kepada muridnya merupakan salah satu bentuk motivasi supaya mereka mau belajar dengan rajin dan penuh rasa tanggung jawab .
          E. Simpati
Perasaan simpati itu bisa juga disampaikan kepada seseorang / kelompok orang atau suatu lembaga formal pada saat –saat khusus. Misalnya apabila perasaan simpati itu timbul dari seorang perjaka terhadap seorang gadis / sebaliknya kelak akan menimbulkan perasaan cinta kasih / kasih saying.
            F. Empati
Empati itu dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam. Contoh jika kita melihat orang celaka sampai luka berat dan orang itu kerabat kita, maka perasaan empati menempatkan kita seolah-olah ikut celaka.

  • Keteraturan Sosial
Keteraturan sosial  artinya menaati nilai dan norma yang berlaku. Contoh : sebuah jalan raya yang dilalui oleh berbagai jenis dan ukuran kendaraan, serta bermuatan orang dalam jumlah besar dan arah tujuan. Unsur-unsur keteraturan sosial :
1.      tertib social
2.      order
3.      Keajegan
4.      Pola

Faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pola keteraturan sosial
    1. Factor pendorong
a.       Kerja sama (cooperation)
b.      Akomodasi
    1. Faktor penghambat
a.       persaingan b.      kontravensic.       konflik
  1. Lembaga Sosial
Menurut John Lewis Gillm dan John Philp Billn pengertian lembaga sosial adalah suatu lembaga sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan pola prilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan.
  1. Kelompok Sosial
    1. Dilihat menurut besar anggota kelompok
    1. Kelompok sosial yang kecil
    2. Kelompok sosial yang besar
    1. Dilihat menurut proses terbentuknya
1.      Kelompok semu contoh:
a.       masa atau kerumunan b.      Publik / khalayak ramai
2.      Kelompok nyata contoh:
a.       Keluarga Luas b.      Asosiasi / perkumpulan 
                  c.   Dilihat menurut erat tidaknya ikatan kelompok
                        1. Kelompok Paguyuban : kelompok masyarakat desa
                        2. kelompok Patembayan : kelompok masyarakat kota
  1. Proses internalisasi
            Adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai tua untuk belajar menanamkan dalan kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukan
  1. Proses sosialisasi
      Adalah suatu proses sosial yang terjadi bila seseorang menghayati dan melaksanakan norma-norma kelompok tempat dia hidup.
  1. Proses enkulturasi
            Adalah menyesuaikan alam dan pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, system norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.
  1. Proses evolusi sosial budaya
      Adalah merupakan proses perubahan suatu kebudayaan dalam jangka waktu yang lama dan bertahap.

  1. Proses difusi
Adalah proses penyebaran unsur-unsur. Kebudayaan individu yang satu kepada individu yang lain. Ada 2 tipe difusi yaitu:
a.       Difusi intra masyarakat
      Adalah difusi yang terjadi dalam suatu masyarakat
b.      Difusi antar masyarakat
Adalah difusi yang terjadi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Difusi antar masyarakat dapat terjadi dalam berbagai  bentuk :
a.       Hubungan symbiotic
b.      Penetration pacifique
c.       Penetration violence
d.      Stimulus diffusion
e.       Kultur complex
6.      Proses akulturasi
Adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing. 3 kontak kebudayaan asing yang besar yaitu :
a.       Kontak dengan kebudayaan hindu-Budha pada zaman kuno (abad ke 1-15)
b.      Kontak dengan kebudayaan islam pada zaman madya (abad ke 15-17)
c.       Kontak degan kebudayaan barat pada zaman baru (abad ke 17-20)
Masing-masing kebudayaan tersebut telah mengahsilkan proses akulturasi adalah : a. akulturasi Indonesia-Hindu Budha
             b. akulturasi Indonesia- Islam
             c. akulturasi Indonesia–barat
      7.   Proses asimilasi
            Adalah proses sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda. Factor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya asimilasi adalah : a. toleransi
                            b. kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang
                            c. Suatu sikap yang menghargai orang asing dengan kebudayaannya
      8    Pembaruan atau inovasi
            Adalah proses pembaruan dalam penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal. Serta pengatuiran system tenaga kerja yang baru
Faktor-Faktor Penyebab Perubahan
1.      Komunikasi
2.      Virus H-Ach
3.      Faktor Intern penyebab perubahan masyarakat
a.       bertambah atau berkurangnya penduduk
b.      penemuan-penemuan baru
c.       konflik didalam masyarakat
konflik berupa :
1.      Konflik antar individu dalam masyrakat
2.      Konflik antar kelompok
3.      Konflik antar individu dengan kelompok
4.       Konflik antar generasi
d.      Pemberontakan ( Revolusi ) dalam tubuh masyarakat
4. Faktor ektern penyebab perubahan masyarakat :
                        1. Faktor alam fisik yang ada disekitar masyarakat
                        2. Peperangan
                        3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
                        4. Faktor – faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial
            Menurut Margono selamat mengatakan bahwa motivational for ces \ kekuatan pendorong yang mempengaruhi perubahan yaitu :

1.      Ketidakpuasan terhadap situasi yang ada
2.      Adanya pengetahuan tentang perbedaan antara apa yang ada dengan yang seharusnya bisa ada
3.      Adanya tekanan – tekanan dari luar seperti kompetisi , keseharusan menyesuaikan diri
1.  faktor – faktor pendorong perubahan
1.      Kontak dengan kebudayaan lain
2.      Sistem pendidikan yang maju
3.      Sikap menghargai hasil karya seseorang
4.      Toleransi terhadap perubahan yang menyimpang
5.      Sistem pelapisan sosial terbuka
2.  Faktor – factor penghalang perubahan
1.      Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
2.       Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat
3.      Sikap masyarakat yang sangat tradisional
      Perubahan sosial budaya dapat dikategorikan kedalam beberapa bentuk yaitu :
1.      Perubahan secara cepat dan lambat
2.      Perubahan direncanakan dan tidak direncanakan
3.      Perubahan yang mempengaruhi luas dan tidak luas    








B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang akan diteliti adalah “Bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat Indonesia dari tahun 1980 sampai sekarang”.
C. Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat Indonesia dari tahun 1980 sampai sekarang”.


D. Kegunaan

1.       Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat berguna dengan memberikan informasi bagi masyarakat mengenai bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat Indonesia dari tahun 1980 sampai sekarang”.

2.       Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam mengkaji lebih lanjut tentang bentuk dan intensitas interaksi sosial masyarakat etnis Bali dengan masyarakat etnis Lampung dalam pembauran etnis.
Bab II Pembahasan

Keharusan Manusia hidup Berkelompok
                 Cara yang sangat mudah untuk memahami mengapa manusia harus hidup berkelompok adalah membandingkan antara anak manusia dengan anak hewan pada waktu lahir dan beberapa waktu sesudahnya.
                 Hewan yang terlahir, kemudian hidup tanpa bantuan dan perlindungan induknya tetap dapat hidup dan setelah dewasa mereka akan hidup dengan cara yang sama dengan jenisnya masing-masing. Misal: anak ayam yang baru menetas ditinggal induknya, sampai besar ia akan tetap hidup sebagaimana seekor ayam.
                 Berbeda dengan manusia, ia tak akan dapat hidup terus tanpa ada manusia lainnya. Ia tak akan hidup sebagai manusia, jika tidak dirawat oleh manusia. Misal: Manusia yang dirawat Kera, maka ia akan hidup seperti kera, bukan seperti manusia.
Pembeda lainnya antara manusia dengan hewan adalah kemampuan biologis manusia yang dianggap “kurang” dibanding hewan. Manusia tidak dapat berenang selincah ikan, berlari secepat ceetah atau kuda, memburu mangsa secepat harimau, dan berayun melompat sepandai kera.
                 Di balik kekurangan tersebut, manusia dianugerahi kelebihan berupa kemampuan mental dan fisik yang lebih fleksibel. Kemampuan mental yang bersumber dari akal dan nurani, merupakan modal berharga yang digunakan untuk mengendalikan gerakan-gerakan anggota badan, sehingga kemampuan fisiknya menjadi beragam dan fleksibel.

Prasangka dan Stereotipe.
 Di dalam berinteraksi dengan orang lain kita terkadang tidak
dapat lepas dari apa yang disebut sebagai prasangka dan stereotipe. Prasangka menurut
Mar' at (1984) adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai ke arah negatif, namun dapat pula
dugaan tersebut bersifat positif. Dugaantersebut umumnya mengarah pada penilaian negatif
yang diwamai oleh perasaan y<!ngmuncul sesaat. Di dalam interaksi sosial, prasangka
memiliki relevansi dengankomponen afektifyangbersifat negatifterutama bila dihubungkan
dengan kelompok minoritas dan kelompok etnis (Mar'at, 1984).
MenurutWolf(dalamMar' at, 1984)prosesterbentuknyaprasangkamerupakanprasangka
sosial yang memiliki konotasi negara dalam hubungannya antara mayoritas dan minoritas.
Oleh karena itu, Mar' at (1984) menjabarkan beberapa faktor penentu prasangka, yaitu antara
lain:
·         Kekuasaan faktual yang terlibat hubungan antara mayoritas dan minoritas
·         Fakta tentang perlakuan terhadap kelompok mayoritas dan minoritas
·         Fakta mengenai kesempatan usaha pada mayoritas dan minoritas
·         Fakta mengenai unsur geografis, dimana keluarga minoritas menduduki daerah-daerah
·         tertentu
·         Posisi dan peranan dari sosial ekonomi yang pada umumnya dikuasai oleh kelompok
·         minoritas
·         Potensi energi eksistensi dari kelompok minoritas dalam mempertahankan hidupnya
Adapun beberapa hipotesa yag menjadi penyebab terjadinya prasangka antara lain adalah:
·         Adanya ketegangan situasiyang senantiasa relatif dan bersifat individual ataukelompok
·         sentris
·         Dalam tiap-tiap kelompok akan selalu terdapat minoritas
·         Adanya persaingan yang menimbulkan prasangka

Kedua adalah stereotipe. Stereotipe adalah persepsi terhadap suatu objek yang tidak
dapat diubah atau kaku (Chaplin, 1995), yang sifatnya terlalu umum dan seringkali keliru(Atkinson dkk., 1993).Dalam membahas baik prasangka maupun stereotipe, kita tidak dapat lepas dari mentalset dan konsep interaksi sosial. Permasalahan yang akan muncul dapat digolongkan menjadidua, yaitu: image dan sikap (Mar' at, 1984).Imagemenyangkutpersepsisosialsehinggatiaphubunganantarmanusia, Antarkelompok, dan antar bangsa telah ada suatu mental set tersendiri tentang opini, sistem nilai, norma, konsep tertentu. Hubungan ini akan mengarah kepada komponen emosional yang relevan dengan hubungan interaksi ini. Sikap terhadap pengertian pengertian sinonim yang sebenarnya adalah prasangka dapat diidentifikasikan dengan sikap yang merupakan predisposisi sosial. Di samping prasangkatersebut dapat pula disamakan dengan opini atau kepercayaan (belief).

GEJOLAK DISKRIMINASI DALAM INTERASI SOSIAL
Berbagai kerusuhan dan ketegangan sosial yang terjadi di tanah air dalam dasa warsa sejak akhir 1980-an sampai pada tingkat tertentu menunjukkan bahwa realitas bangsa Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama ini belum dapat dikelola dengan baik. Kerusuhan-kerusuhan tersebut mengisyaratkan bahwa pendekatan dan strategi yang telah diterapkan, terutama selama pemerintahan Orde Baru, tak lagi tepat untuk digunakan dalam konteks masa kini. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsi Indonesia, baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya perlu berusaha menemukan cara-cara yang lebih tepat dalam mengelola keaneka-ragaman masyarakat ini.

Di samping faktor politik, ekonomi, dan paham keagamaan, perbedaan latar belakang etnik merupakan faktor yang sering mewarnai berbagai kerusuhan selama ini, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Pontianak (etnik Dayak melawan etnik Madura), Jakarta (etnik Jawa/Sunda melawan etnik Cina), dan Surakarta (etnik Jawa melawan etnik Cina dan Arab). Dalam beberapa kasus kerusuhan, factor faktor tersebut teranyam satu sama lain sedemikian rupa, sehingga faktor yang satu sulit dipisahkan dari faktor lainnya. Meskipun faktor perbedaan etnik sering dinafikan dalam berbagai pernyataan resmi, kenyataan menunjukkan bahwa terdapat suatu kelompok etnik tertentu yang menjadi sasaran dan sekaligus korban dominan di dalam kerusuhan-kerusuhan tersebut. Dalam kasus kerusuhan Mei 1988 di Jakarta dan Surakarta, misalnya, pemicu-nya adalah faktor politik tetapi kemudian berkembang menjadi sentimen etnik. Sementara itu, kerusuhan di Surakarta pada tahun 1980, pemicunya adalah kecelakaan lalu-lintas antara dua pemuda, tetapi kemudian berkembang menjadi kerusuhan anti-Cina. Kenyataan ini menyiratkan bahwa perbedaan latar belakang etnik potensial untuk memicu kerusuhan, mengubah inti persoalan kerusuhan, atau meningkatkan eskalasi kerusuhan. Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki keanekaragaman etnik dan agama serta memiliki sejarah kerusuhan yang berulang-ulang, sejak sebelum kemerdekaan hingga akhir abad ke-20 dengan faktor pemicu yang berbeda-beda. Hasil penelitian Mulyadi dkk. (1999) tentang radikalisasi sosial masyarakat Surakarta menunjukkan adanya pola keberulangan peristiwa kerusuhan dan menyebutkanangkan frekuensi kejadian sedemikian tinggi dalam sejarah kota Surakarta Kenyataan di atas menunjukkan betapa relasi antaretnik di Surakarta merupakan konflik laten yang potensial meletus sewaktu-waktu dalam bentuk kerusuhan. Konflik laten ini potensial untuk berubah menjadi konflik manifes karena adanya bentuk-bentuk bias dalam relasi antaretnik, baik dalam bentuk stereotip (pendapat atau pandangan yang menggeneralisasikan ciri-ciri seseorang atau sekelompok orang berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tertentu), prasangka (perasaan atau sikap negatif pada orang/kelompok yang dicitrakan dalam stereotip tertentu), dan diskriminasi (perilaku nyata yang   membedakan orang/kelompok secara tidak adil) yang terlestarikan, baik secara sadar atau tak sadar,  dalam kehidupan nyata sehari-hari sebagian besar masyarakat Surakarta.
 Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya rekayasa sosial yang mampu mengeliminasi proses pelestarian stereotip, prasangka, dan diskriminasi tersebut.

Berbagai inisiatif telah dilakukan untuk mengeliminasi kesalahpahaman antar etnik di Surakarta, terutama antara masyarakat keturunan Jawa dan masyarakat keturunanCina, melalui berbagai forum semacam yang telah dilakukan oleh PWS (PaguyubanWong Solo) dan PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta). Akan tetapi, inisiatif-inisiatif tersebut bisa dikatakan kurang memiliki agenda-agenda yang berkelanjutan, hanya melibatkan orang-orang dewasa yang sibuk dan telah memiliki status social ekonomi mapan, serta sebagian besar di antaranya adalah kaum pria. Mengingat pentingnya relasi sosial yang harmonis lintas etnik dan agama ini, upaya-upaya integrasi perlu dilakukan oleh berbagai pihak, secara berkelanjutan, dan dilakukan secara lebih awal dengan melibatkan generasi muda (remaja).Meskipun dalam konteks wacana publik dan di kalangan elit organisasikemasyarakatan, persoalan keanekaragaman ini tidak dirasakan sebagai masalah, kenyataan di tingkat akar-rumput menunjukkan bahwa bentuk-bentuk stereotip, prasangka, dan diskriminasi merupakan sesuatu yang nyata dan tak bisa dipungkiri. Ketika Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta menyelenggarakan suatu kegiatan yang melibatkan remaja lintas etnikdan agama, misalnya, stereotipe dan prasangka tersebut terungkap secara eksplisit, baik dalam pernyataan lisan maupun sikap peserta di awal kegiatan. Kenyataan itu menyiratkan bahwa tatanan dan relasi sosial masyarakat Surakarta saat ini sebenarnya mempunyai kontribusi pada pelestarian bentuk-bentuk stereotip dan prasangka antaretnik, sehingga perlu upaya-upaya terpadu yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan bentuk-bentuk bias relasi sosial tersebut.
Sebagaimana halnya keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan yang ada
di Indonesia, keberadaan kelompok etnik Cina di Indonesia juga menjadi kontroversi
dalam integrasi bangsa Indonesia. Kehadiran pemukim Cina di Indonesia pertama
kali diperkirakan terjadi pada abad V (Sa’dun, ed., 1999: 56; Taher, 1997a: 31).
Para pemukim Cina pertama tersebut melakukan perdagangan dengan membawa
keramik, sutera, dan benang sutera; ketika pulang mereka membawa kayu cendana,
sarang burung, emas, dan lain sebagainya (Sa’dun, ed., 1999: 56).Migrasi orangorang Cina dalam jumlah besar diperkirakan terjadi pada abadXVII, bersamaan denganmasuknya bangsa Barat ke Nusantara, dan pada awalabad XX, setelah PerangDunia I, ketika orang-orang Cina tidak hanya datang keIndonesia tetapi juga ke negara-negara Asia Tenggara lainnya (Sa’dun, ed., 1999:56-61; Taher, 1997: 3169; Skinner, 1957: 28-29). Di antara faktor pentingpenyebab kedua gelombang migrasi tersebut adalah situasi dalam negeri Cina. Pada abad XVII, orang-orang Cina banyak keluar dari negaranya karena negeri Cina sedang dilanda peperangan, kekacauan, dan kelaparan yang disebabkan oleh pergolakan politik dalam negeri, ketika Dinasti Ming runtuh dan digantikan oleh Dinasti Qing Manchu (Sa’dun, ed., 1999: 57; Sukisman, 1992: 2-20). Begitu pula, migrasi orang-orang Cina pada awal abad XX juga banyak disebabkan oleh kekacauan dalam negeri Cina, ketika kaum nasionalis Cina di bawah kepemimpinan Sun Yat Sen melakukan revolusi untuk meruntuhkan Dinasti Qing Manchu (Sa’dun, ed., 1999: 61; Sukisman, 1992: 118-131; Clubb, 1964: 36-43).
Sejak awal kemerdekaan, masyarakat Indonesia menyadari bahwa masalah
hubungan antaretnik dapat menjadi potensi konflik sosial jika tidak diatasi dengan
baik. Cara-cara yang diusulkan untuk mengatasi persoalan hubungan antaretnik
tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua arus paham utama, yaitu:
“integrasi” dan “asimilasi”. Paham “integrasi”, yang dipelopori oleh Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), berpandangan bahwa persoalan
hubungan antaretnik dapat diatasi dengan memberikan pengakuan sepenuhnya pada
kelompok etnik Cina sebagai salah satu suku bangsa, sebagaimana Jawa, Sunda,
Dayak, dan suku-suku lain-lain di Indonesia (Coppel, 1994: 91; Taher, 1997a: 124);
sedangkan paham “asimilasi”, yang dipelopori oleh LPKB (Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa) dan Bakom-PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan
Bangsa) berpandangan bahwa persoalan hubungan anteretnis dapat diatasi bila
kelompok keturunan Cina membaur dan mencairkan diri dengan masyarakat lokal
(Coppel, 1994: 93; Taher, 1997a: 125). Namun demikian, karena Baperki
mengidentifikasikan dirinya sebagai “alat revolusi” dan membela pelaksanaan
Nasakom (Coppel, 1994: 91), ketika terjadi G30S/PKI pada tahun 1965, terjadi
gerakan anti-Cina yang meluas (Coppel, 1994: 143-144) dan para tokoh Baperki
yang dianggap sebagai penggiat komunisme banyak ditangkap atau lari ke luar negeri,sehingga paham integrasi kurang dapat berkembang (Taher, 1997a: 125).
Meningkatnya gerakan anti-Cina dan tuntutan pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok memberikan peluang bagi paham asimilasi untuk menjadi semakin kuat dan mendapatkan dukungan dari pemerintah Orde Baru. Dukungan terhadap integrasi melalui asimilasi ini kemudian menjadi agenda MPRS yang kemudian tertuang dalam Resolusi No. III/Res/MPRS/1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa. Inti Resolusi tersebut adalah melarang kepemilikan kewarganegaraan ganda dan mempercepat proses integrasi melalui asimilasi warga negara keturunan asing. Resolusi tersebut kemudian dijabarkan oleh pemerintah ke dalam berbagai produk hukum. Produk-produk hukum tersebut antara lain adalah:
(1) Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang Pergantian
Nama; (2) Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat-istiadat Cina; (3) Keputusan Presiden (Keppres) No. 240/1967 tentang
Kebijakan Pokok yang Menyangkut WNI Keturunan Asing; dan (4) Instruksi
Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian
Masalah Cina.
Namun demikian, produk-produk hukum tersebut belum mampu menuntaskan
persoalan pembauran. Pendekatan asimilasi yang didukung oleh prduk-produk hukum
tersebut oleh kalangan masyarakat etnik Cina dirasakan sebagai pemasungan kebebasan dan penghilangan karakteristik budaya mereka, termasuk pengingkaran
terhadap agama (Kong Hu Chu) mereka. Bahkan model asimilasi menyeluruh (asimilasi etnik Cina dengan masuk agama Islam sebagai agama mayoritas) yang dipelopori oleh Jahja (ed., 1991) juga belum menyelesaikan persoalan integrasi etnik.
Hasil penelitian Hariyono (1994) yang membandingkan kultur Cina dan kultur
Jawa menemukan bahwa faktor yang menjadi hambatan dalam proses asimilasi
adalah tata-nilai tradisional Cina yang disebut sebagai “sistem familiisme”. Menurut
P. Hariyono, “sistem familiisme” mempunyai kontribusi pada tingginyaetnosentrisme
di kalangan masyarakat etnik Cina dan menyebabkan rendahnya interaksi sosial
dengan masyarakat setempat, sehingga memperkecil peluang terjadinya perkawinan
campur (amalgamasi). Menurut Taher (Taher, 1997a: 149 – 154), terdapat enam faktor penyebab belum tuntasnya pembauran, yaitu: (1) pengelompokan kewarganegaraan warisanpemerintah Hindia Belanda (Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra); (2) hak-hak-hakistimewa yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada kelompok etnik Cina;
(3) hak-hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru pada kelompok
etnik Cina; (4) kecenderungan sikap chauvinistik kelompok etnik Cina; (5) dianutnya
konsep kebangsaan atas dasar ras; (6) citra buruk muslim Indonesia yang dianggap
identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, dan kekerasan.
Namun demikian menurut Thung Ju Lan (dalam Wibowo, 1999: 22), kegagalan
integrasi di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh bias asumsi yang mendasari
kebijakan integrasi, bias “asimilasi”, yaitu bahwa asimilasi merupakan satu-satunya
solusi permasalahan Cina di Indonesia. Oleh karena itu, persoalan integrasi bangsa
ini, menurut Thung Ju Lan (dalam Wibowo, 1999: 22), sudah saatnya perlu dikaji“dari luar” kerangka asimilasi. Pendekatan integrasi “dari luar” kerangka asimilasi ini mulai mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah pasca Orde Baru. Pada masa kepresidenan-nya, Gus Dur menerbitkan Keppres No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 14/1967,yang berarti bahwa masyarakat Tionghoa memperoleh kembali sebagian dari hak-hakmereka sebagai warga negara Indonesia, yang selama lebih dari tiga dasa warsadibatasi oleh inpres tersebut, sehingga terjadi peningkatan apresiasi terhadap halhalyang dianggap sebagai representasi dari kelompok masyarakat etnik Cina,semacam pengakuan terhadap Imlek sebagai hari besar nasional, pengakuanterhadap pernikahan secara Kong Hu Chu, penggunaan bahasa Mandarin dalam media massa, dan penyelenggaraan kesenian barongsai dan wayang putehi. Pencabutan Inpres No. 14/1967 dan perayaan Imlek serta pertunjukan seni
sebenarnya tidak banyak memberikan kontribusi pada pengelolaan keanekaragaman
masyarakat bila tidak diikuti dengan produk-produk hukum lain yang selaras,
semacam RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang saat ini sedang digodog di DPR, atau produk yang diderivasi dari Keppres No. 6/2000 tersebut.
Selain melalui pendekatan hukum dan politik, persoalan integrasi bangsa perlu
dilakukan melalui pendekatan sosial-kultural yang secara langsung menyentuh
persoalan relasi sosial, yang mempertemukan berbagai kelompok etnik dan
memfasilitasi terjadinya komunikasi serta kerjasama lintas etnik dan agama. Integrasi
bangsa bukan sekedar persoalan perundangan, melainkan juga persoalan pengalaman
praktik kehidupan sosial, dan perlu diintegrasikan dalam sistem pendidikan.
Dalam sistem pendidikan nasional, pengelolaan keanekaragaman ini sampai
pada tingkat tertentu sebenarnya sudah terakomodasi melalui muatan lokal dalam
kurikulum dan diberikannya pelajaran Pancasila sejak dari pendidikan dasar hingga
pendidikan tinggi. Selain itu, sistem pendidikan nasional Indonesia juga menerima
paradigma bahwa pendidikan mencakup learning to know, learning to do, dan
learning to live together. Namun demikian, kompetensi yang diharapkan melalui
kurikulum muatan lokal belum bisa mengakomodasi kepentingan siswa yang berlatar
belakang etnik Cina; sementara itu, kompetensi learning to live together belum
dijabarkan secara memadai dan pelajaran Pancasila lebih banyak menekankan aspek
kognitif, sehingga kurang menghasilkan pengalaman nyata yang mendukung
perkembangan aspek afektif kepribadian siswa dalam interaksi lintas etnik danagama.
Salah satu bentuk pendidikan yang menyajikan pengalaman ber-kehidup-an bersama dan menghargai berbagai perbedaan adalah yang selama ini disebut dengan
pendidikan multikultural, atau pendidikan toleransi, atau pendidikanperdamaian.

Bab III Penutup

A.Kesimpulan
            Menurut Hipotesa kelompok 5 maka dapat ditarik simpulan dalam artian luas bahwa interaksi social adalah proses pemberian informasi dari komunikator kepada komunikan yang menghasilkan feedback/respon secara langsung atau tidak langsung yang memberi hasil informasi positif ataupun negative, secara verbal dapat digambarkan sebagai berikut
komunikator
komunikan
feedback
 












                                                                                                                          


Namun ,Faktor yang membahayakan dari interaksi social adalah corak sikap prasangka dan streotipe yang menimbulkan konflik personal maupun kelompok, hal itu menandakan adanya kelemahan pada :

Pandangan Umum (secara metode Ilmiah)
1.       Kebijakan pemerintah dalam mengatur kehidupan bermasyarakat yang tidak sesuai semboyan ideology bangasa “ Bhineka tunggal Ika”.
2.       Lemahnya lembaga pendidikan dalam mewujudkan pendidikan bekarakter bagi penerus bangsa.
3.       Kurang harmonis nya hubungan kekeluargaan pada zaman modern saat ini,sehingga penerus bangsa banyak yang lost Control
Pandangan ilmu Psikologi (sescara metode Ilmiah)
1.       Personality individual mengambil sikap  sangat tidak stabil karena mengambil sikap tidak bedasarkan Kombinasi :
a.       Kognitif (hasil belajar)
b.      Psikomotor (pengalaman)
c.       Presepsi(cara bepikir)
Hal ini masalah individual dalam mengambil sikap yang mengandalkan emosi sesaat tanpa mempunyai Intelegensi.

Pandangan Islam ( secara metode Non Ilmiah)
            1.personality kurang mempunyai Qolbu dalam bertindak mengambil sikap dalam beprasangka,

b.Saran

Kita sebagai calon intelektual seharusya lebih banyak belajar dengan membaca,karena dengan membaca kita dapat membentuk karakter diri dan bangsa.Setidaknya andaikata kebijakan bangsa tidak dapat mengatur kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera sesuai  sila yang ke empat kita dapat menyelamatkan diri kita sendiri . Lakukan perubahan diri sendiri sebelum mengubah kehidupan bangsa ini. Karena perubahan dapat terjadi jika kita rencanakan sesuai apa yang dapat kita ubah pada kemampuan bepikir kita maka akan berakhir perubahan besar bagi orang lain yang akan meniru kita.


































Daftar Pustaka


Taher, Tarmizi. 1997a. Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional, dan Integrasi
Bangsa di Indonesia. Jakarta: PPIM.
Taher, Tarmizi. 1997b. Aspiring for Middle Path: Religious Harmony in Indonesia.
Jakarta: CENSIS.
Tillman, Diane. 2004. Living Values Activities for Young Adults/Pendidikan Nilai
untuk Kaum Dewasa-Muda. Jakarta: PT Grasindo.
www.blog m.thoyibi,com